Ide tulisan oleh: Drs. Jauhari Kholik, M.Pd
Ditulis oleh: Nicku Rendy P.
Internet |
Siapa yang tidak memiliki smartphone? Benda portable yang satu ini sepertinya telah menjadi barang wajib yang dimiliki oleh semua kalangan. Mulai dari kalangan anak kecil, remaja, dewasa, hingga orang tua sekalipun sudah tak asing lagi dengan smartphone dan bangga karena menggunakannya. Sebuah fakta yang terjadi menggambarkan bahwa orang yang tinggal di daerah yang tersentuh peradaban modern seperti kota dan desa yang terintegrasi dengannya pasti minimal sudah tahu apa itu wujud smartphone.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, semua kalangan yang mengetahui smartphone rata-rata telah memilikinya. Smartphone yang mereka miliki terdiri dari berbagai macam bentuk, jenis, dan fitur. Mulai dari bentuk yang kecil hingga besar, jenis yang lawas maupun terkini, yang termurah hingga yang termahal, untuk keperluan chatting, bekerja, belajar, maupun bermain, dan sebagainya. Hal ini membentuk suatu diversitas yang unik terkait smartphone yang mereka gunakan. Namun, diversitas tersebut dipersatukan oleh suatu entitas besar yang menjadi fitur andalan yang wajib dimiliki oleh smartphone: internet.
Smartphone tanpa internet bagaikan lauk tanpa nasi. Mereka tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pengguna smartphone wajib memiliki akses internet guna menghidupi segala aktivitas di dalamnya. Namun, tahukah Anda, bahwa internet memiliki isi yang bermacam-macam. Adalah rahasia umum ketika internet dikatakan sebagai pisau bermata dua: menampung konten positif dan negatif sekaligus. Apa implikasinya? Bila internet memiliki dampak yang terkait dengan keperluan kita (terutama dampak negatif yang paling ditekankan oleh pengamat siber), lantas pengguna smartphone beserta internet yang terdiri dari berbagai kalangan usia dapat dengan mudah terpapar konten internet yang bermacam-macam tersebut: positif maupun negatif.
Kita pada intinya tidak menghiraukan bagaimana jadinya bila kalangan pengguna internet terpapar konten positif karena hasilnya kebanyakan membawa gerakan yang baik. Lalu bagaimana jadinya bila mereka terpapar konten negatif?
Bullying, hate speech, bait, cacian, sindiran, dan ujaran kebencian merupakan beberapa konten negatif yang dapat dengan mudah kita peroleh dalam internet seperti melalui media sosial, blog, portal berita, portal hiburan seperti YouTube dan app store sekalipun. Konten tersebut kadang kala ditanggapi secara negatif pula oleh masyarakat pengguna internet yang disebut sebagai netizen. Berbagai fakta empiris dapat kita temui: sebut saja Instagram. Ironisnya, banyak konten negatif yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri yang ditanggapi negatif dari netizen. Ironisnya lagi, mereka menanggapi konten negatif tersebut secara negatif menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini sudah sangat menyimpang. Ada beberapa hal yang tidak wajar dalam fenomena tersebut: konten negatif, konten negatif yang ditanggapi secara negatif, dan yang menanggapi adalah kebanyakan netizen asal Indonesia - dilihat dari bahasa yang mereka gunakan. Secara sosiologis, fenomena tersebut dikatakan sebagai tragedi kebudayaan, dengan menggunakan pendekatan teori Georg Simmel.
APA ITU TRAGEDI KEBUDAYAAN?
Georg Simmel |
Inti dari pemikiran tragedi kebudayaan dijelaskan oleh Simmel sebagai berikut: "Bahasa sudah sangat berkembang, banyak, dan beragam, sedangkan lidah kita masih dalam keterbatasan atau bahkan kemerosotan linguistik". Artinya apa? Sebuah fenomena yang terjadi di dalam ruang lingkup sosial disebut sebagai 'tragedi kebudayaan' ketika budaya yang dibuat oleh manusia melampaui jauh dari kemampuan manusia tersebut. Kebudayaan objektif yang dibuat oleh manusia pada suatu saat akan menghancurkan kebudayaan subjektif yang merupakan kemampuan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, buatan manusia akan melampaui batas kemampuan manusia. Bahasa, yang merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dibuat oleh manusia, telah berkembang pesat, jauh melampaui kemampuan manusia untuk berbicara bahasa tersebut. Contoh nyatanya dengan menggunakan umpama tersebut adalah manusia terutama masyarakat Indonesia pada saat ini merasa kesulitan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku. Demikianlah yang disebut sebagai pemikiran Georg Simmel mengenai "Tragedi Kebudayaan".
APA KAITAN SMARTPHONE DENGAN TRAGEDI KEBUDAYAAN
Tidak dapat kita pungkiri bahwa smartphone dalam beberapa dekade ini telah mengalami kemajuan pesat. Bahkan, kita dapat melihat apa bedanya smartphone keluaran saat ini dengan keluaran 10 tahun yang lalu. Keduanya sangat berbeda drastis. Faktanya, kemajuan smartphone ternyata tak sebanding dengan 'kemajuan' penggunanya. Beberapa netizen menyindir mereka yang demikian berupa: "SMARTphone tetapi penggunanya tidak SMART". Hal ini dapat terjadi atas dasar banyaknya konten negatif dan tanggapan negatif yang beredar luas di dunia, terutama dunia internet Indonesia.
Smartphone sejatinya telah berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, dan inovasi. Namun, semua itu terkesan sia-sia apabila tidak dibarengi dengan penggunaan yang baik oleh netizen, atas bukti adanya konten berbau negatif yang beredar luas secara wilayah maupun secara diversitas kalangan pengguna. Kalau sudah begini, pada dasarnya sudah tidak ada lagi yang dapat kita lakukan. Kita tidak bisa mencegahnya dengan cara menghapus konten tersebut karena aktor pembuat konten negatif tidak cuma satu tetapi ada lebih dari jutaan. Hal yang dapat kita cegah adalah dengan memilah informasi yang tersajikan. Memang terkesan normatif, formal, dan tidak masif, tetapi cara tersebut merupakan cara terbaik karena mengandalkan upaya pribadi. Namun, di situlah kendalanya. Upaya pribadi memerlukan kesadaran penuh yang ternyata tidak mudah untuk dilakukan. Menyadarkan seseorang merupakan bukan perkara yang mudah dan butuh banyak waktu. Namun, dengan usaha dan tekad yang gigih, semua itu dapat dengan mudah dilaksanakan. Berani melakukan hal positif dari sekarang?
No comments:
Post a Comment