Tuesday, April 3, 2018

Puisi Ibu Indonesia Karya Sukmawati Soekarno Putri Dilihat dari Kacamata Sosiologi

***Perlu diperhatikan bahwa tulisan ini bebas nilai (Value Free), objektif, dan berdasarkan landasan Ilmiah***


PUISI IBU INDONESIA KARYA SUKMAWATI SOEKARNO PUTRI DILIHAT DARI KACAMATA SOSIOLOGI


Baru-baru ini sebuah video berjudul "Puisi Ibu Indonesia" tentang puisi Sukmawati Soekarno Putri beredar di dunia maya. Video tersebut sangat viral di kalangan masyarakat terutama masyarakat religius. Hal yang membuat video tersebut viral adalah teks puisi yang dibacakan oleh Sukmawati membawa kesan SARA yang tabu dalam kehidupan masyarakat. Syair puisi tersebut tertulis:


Puisi Ibu Indonesia
Karya: Sukmawati Soekarno Putri

Aku tak tahu Syariat Islam
Yang kutahu sari konde ibu Indonesia sangatlah indah
Lebih cantik dari cadar dirimu
Gerai tekukan rambutnya suci
Sesuci kain pembungkus ujudmu
Rasa ciptanya sangatlah beraneka
Menyatu dengan kodrat alam sekitar
Jari jemarinya berbau getah hutan
Peluh tersentuh angin laut 


Lihatlah ibu Indonesia
Saat penglihatanmu semakin asing
Supaya kau dapat mengingat
Kecantikan asli dari bangsamu
Jika kau ingin menjadi cantik, sehat, berbudi, dan kreatif
Selamat datang di duniaku, bumi Ibu Indonesia


Aku tak tahu syariat Islam
Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok
Lebih merdu dari alunan adzan mu
Gemulai gerak tarinya adalah ibadah
Semurni irama puja kepada Illahi
Nafas doanya berpadu cipta
Helai demi helai benang tertenun
Lelehan demi lelehan damar mengalun
Canting menggores ayat ayat alam surgawi 


Pandanglah Ibu Indonesia
Saat pandanganmu semakin pudar
Supaya kau dapat mengetahui kemolekan sejati dari bangsamu
Sudah sejak dahulu kala riwayat bangsa beradab ini cinta dan hormat kepada ibu Indonesia dan kaumnya.




Puisi tersebut dibacakan oleh Sukmawati Soekarno Putri langsung di tengah acara 29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018. Puisi tersebut menuai pro dan kontra. Mereka yang pro mengartikan puisi tersebut sebagai bentuk penggambaran identitas masyarakat Indonesia dengan segala budaya dan kearifan lokalnya. Mereka juga mengartikan kebudayaan murni Indonesia terancam tergerus dalam arus globalisasi dan akulturasi budaya luar. Mereka menginterpretasikan puisi tersebut adalah sebuah bentuk ekspresi jiwa dari masyarakat-masyarakat adat setempat. Puisi adalah bentuk ekspresi jiwa. Dari sebuah pernyataan tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa di dalam puisi tersebut berisi banyak majas-majas yang hiperbola, dilebih-lebihkan, dan tidak dapat diartikan secara harfiah. Kita bisa menganalogikan pengartian non-harfiah seperti kita menafsirkan kitab suci seperti Al Qur'an maupun Injil dalam ruang lingkup agama. Persamaan dari kitab suci dan juga puisi adalah keduanya memiliki gubahan bahasa yang dipilih sedemikian rupa sehingga memiliki tampilan dan nilai estetika tersendiri. [1]

Mayoritas mereka yang kontra dan menghujat puisi dan penulisnya tersebut menyatakan bahwa puisi dan sang penulis telah menodai kesucian agama mereka, baik secara syariat (tata cara) maupun kebudayaan beragama mereka. Hal itu berdasarkan syair pada beberapa bait yang menyatakan "suara kidung ibu nusantara lebih baik ketimbang adzan" dan "konde ibu pertiwi lebih elok dan bernilai ketimbang kerudung yang biasa dipakai oleh umat muslim wanita". Mereka yang kontra ini menganggap bahwa demikian yang disebutkan dan direndahkan kedudukannya adalah sebuah kewajiban beragama yang tidak bisa disangkutpautkan dengan kehidupan berbudaya dan kearifan lokal. Mereka berargumen bahwa pakaian dan tata cara pelaksanaan agama yang mereka lakukan tidak ditujukan untuk menandingi keberadaan budaya yang sudah mengakar jauh sebelum agama itu datang. Bahkan, mereka sudah menindaklanjuti puisi buatan Sukmawati dengan melaporkan puisi dan penulisnya ke polisi dengan tuduhan penistaan agama. [2]

PANDANGAN SECARA SOSIOLOGIS
  • Pendekatan kepada Teori Agama oleh Durkheim


Kalau kita berbicara tentang agama, maka tokoh sosiologi yang sangat mendalami studi terkait adalah Emile Durkheim. Durkheim mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang suci, sakral, dan dijaga keduanya oleh masyarakat (Wirutomo, 2017). Karena agama dinilai sebagai sesuatu yang sangat suci, mayoritas penganutnya tidak ingin mengkaji, mengkritik, dan berbagai upaya untuk mendalami secara kritis mengenai agama tersebut demi menjaga kemurnian agama tersebut. Di samping itu, kajian kritis tentang agama tersebut seperti mengapa kita beragama tertentu dan apa alasan kita memeluk agama tersebut dihalangi oleh tiga institusi, yakni masyarakat, institusi agama (otoritas petinggi agama), dan negara. Inti dari pemikiran Durkheim tentang agama ini adalah masyarakat akan 'menekan' pihak yang berusaha mengusik kesucian agama yang mereka anut (Ritzer, 2017).

Pemikiran Durkheim secara implisit mengartikulasikan bahwa masyarakat akan menindaklanjuti pihak yang diketahui berusaha untuk mengusik kesucian dan kesakralan suatu agama. Perbuatan masyarakat tersebut bisa dijelaskan dengan adanya fakta sosial non-material yang mengatur persepsi masyarakat tentang apa itu agama dan bagaimana cara menjaga kesucian kepercayaan tersebut. Dengan demikian, perbuatan tersebut dapat dijelaskan dengan teori yang dikemukakan oleh Durkheim mengenai agama. 
  • Pendekatan kepada Teori Tindakan Sosial oleh Weber


Max Weber dalam menganalisis masyarakat selalu menggunakan pandangan interpretatif, yakni pandangan berupa penafsiran terkait siapa yang memandang. Hal itu menyatakan secara implisit bahwa Weber dalam mengamati segala bentuk tindakan sosial yang dilakukan oleh masyarakat memiliki nilai subjektif - nilai yang dimiliki oleh pihak terkait saja. Tindakan sosial atau social action merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu maupun masyarakat yang ditujukan kepada pihak lain. Tindakan tersebut memiliki arti tersendiri tergantung siapa yang melihat dan menanggapi tindakan tersebut. Hal ini mengartikan bahwa makna dari tindakan tersebut belum tentu sama di antara pihak yang melakukan tindakan sosial dengan pihak yang melihat dan menanggapi tindakan tersebut. Konsep inti dari pemikiran Weber adalah suatu tindakan sosial memiliki kecenderungan untuk dimaknai secara subjektif dan tergantung siapa yang melihat dan prinsip yang melihatnya.

Kondisi tersebut sama dengan gejala sosial yang sedang viral di dunia maya maupun nyata - pembacaan puisi Ibu Nusantara - yang mana sang pelaku tindakan sosial - ibu Sukmawati - melakukan sebuah tindakan sosial yang nilai maknanya belum tentu dapat ditanggapi serupa kepada masyarakat luas sebagai pihak yang ditujukan dalam tindakan sosial tersebut. Bahkan, kita bisa melihat bahwa perbedaan interpretasi makna telah terjadi, mungkin sang pembuat puisi bermaksud untuk mencurahkan keluh kesah masyarakat adat yang budaya dan kearifan lokal mereka mulai tergerus oleh budaya luar dan zaman, tetapi puisi tersebut dimaknai secara subjektif oleh masyarakat luas - terutama muslim - sebagai bentuk penistaan agama, pengagungan budaya (fanatisisme), dan labeling agama. Demikianlah tindakan sosial berupa pembacaan puisi kepada masyarakat tersebut memiliki makna tersendiri tergantung siapa yang melihat dan menanggapi. 

1. Berbagai sumber dari berita dan wacana daring.
2. Ritzer, G., Goodman, D. J. (2017), Teori Sosiologi (I. R. Munzir, Ed., & Nurhadi, Trans.) Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset

No comments:

Post a Comment