***Perlu diperhatikan bahwa tulisan ini bebas nilai (Value Free), objektif, dan berdasarkan landasan Ilmiah***
ADA APA DENGAN TINDAKAN MASYARAKAT TERHADAP KOMUNITAS AHMADIYAH?
Pernahkah kita mendengar kasus "kekerasan terhadap warga yang beraliran Ahmadiyah"? Pernahkah anda melihat spanduk bertuliskan "Kami warga XXX menolak keberadaan kaum Ahmadiyah di kampung ini"? Bagaimanakah isu dan tindakan tersebut bisa muncul? Artikel ini tidak akan membahas tentang kekejaman yang dilakukan oleh masyarakat terhadap komunitas tersebut. Artikel ini lebih membahas tentang bagaimana fenomena kekerasan dan tindakan intoleran tersebut bisa terjadi di dalam masyarakat yang tidak hanya berada di lingkungan tersebut, tetapi juga di masyarakat luas di luar.
Secara logika, agama pada dasarnya tidak sama dalam penerapannya secara universal. Kita mengenal konsep sekte, ajaran, aliran, dan mazhab untuk membedakan antara "nama agama" yang umum dengan yang benar-benar dianutnya. Seperti halnya Islam dengan ajaran Ahlussunnah, maka orang yang beragama Islam ajaran Ahlussunnah akan menjalankan tata tertib dan aturan agama sesuai dengan apa yang Ahlussunnah tetapkan. Begitu pula dengan Ahmadiyah, pengikut Ahmadiyah yang menamai dirinya sebagai orang yang beragama Islam akan menjalankan agama Islam sesuai dengan apa yang ajaran Ahmadiyah ajarkan. Artinya, agama memiliki sejarahnya masing-masing hingga bisa eksis di zaman sekarang. Namun bagaimana dengan realitanya? Masyarakat kini menilai ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran yang sesat karena baru ditemukan di masyarakat tersebut dan tidak sesuai dengan konsep agama Islam yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Penilaian tersebut memunculkan konflik baru yang berbentuk kekerasan terhadap para penganut Ahmadiyah dengan dalih tersebut.
Lalu, apa kaitannya teori fakta sosial Durkheim dengan kejadian di mana masyarakat "menganiaya" komunitas Ahmadiyah dalam konteks kebebasan, keamanan, dan hak-hak lain dalam menjalani kehidupan layaknya masyarakat pada umumnya? Bila kita tarik kesimpulan dari tindakan masyarakat terhadap mereka, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan intoleran. Tindakan tersebut muncul disaat masyarakat menemukan sebuah individu (dibaca: komunitas Ahmadiyah) yang tidak menjalani kehidupan beragama Islam seperti yang masyarakat harapkan. Masyarakat menganggap bahwa komunitas tersebut kegiatan beragamanya di luar kebiasaan dari masyarakat pada umumnya. Ini menyebabkan munculnya alienasi sosial dimana mereka mengeksklusikan pihak yang tidak sama darinya berdasarkan prinsip primordialisme. Primordialisme merupakan penetapan standar hidup berdasarkan standar kebiasaan mereka. Apabila mereka menetapkan bahwa Islam harus seperti halnya Islam pada umumnya, komunitas Islam lain yang memiliki aliran dan ajaran yang berbeda darinya seperti Ahmadiyah akan teralienasi dan terekslusi karena masyarakat pada umumnya tidak mengharapkan kehadiran seperti mereka - aliran Ahmadiyah.
Sikap primordialisme lainnya yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap komunitas Ahmadiyah adalah masyarakat menetapkan bahwa aliran Ahmadiyah itu sesat dan tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mereka pahami adalah ajaran yang sebenarnya. Tindakan diskriminatif yang mereka lakukan seperti perusakan tempat ibadah, pembubaran jemaat yang sedang melakukan ibadah, dan pengusiran besar-besaran merupakan bentuk tindakan primordialisme yang berujung pada sikap intoleran. Tindakan tersebut dikategorikan sebagai tindakan intoleran karena mereka merenggut hak-hak yang memang sudah sepatutnya komunitas tersebut dapatkan. Kalau memang mereka melakukan tindakan tersebut atas dalih "sekte tersebut sesat", bukankah memang pada kodratnya aliran agama itu banyak? Para petinggi agama pun memaklumi ada beberapa mazhab, aliran, sekte, maupun thariqat atau jalur di tiap-tiap daerah yang berbeda karakteristik dan ciri khas mereka. Seharusnya, warga Indonesia yang dikenal sebagai warga dengan keramahtamahan yang tinggi harus bisa menerima keadaan warga sesamanya dengan tingkat diversitas yang berbeda-beda.
Tindakan tersebut telah melecehkan prinsip keindonesiaan yang telah diterapkan sejak lama yang bernama "toleransi dalam bertindak". Tindakan tersebut tidak patut dilakukan karena mengingat mereka memiliki kesempatan dan hak-hak yang seharusnya mereka terima sebagai warga Indonesia. Dalam kasus ini, warga indonesia harus bisa mengurangi rasa primordialismenya untuk mencapai kerukunan dan keamanan bersama.
Referensi
- Ritzer, G., Goodman, D. J. (2017), Teori Sosiologi (I. R. Munzir, Ed., & Nurhadi, Trans.) Yogyakarta: Kreasi Wacana Offset
No comments:
Post a Comment